MEREK
Barangkali keterampilan pemasar profesional yang paling menonjol adalah
kemampuan untuk menciptakan, menjaga, melindungi dan menaikkan citra merek.
Asosiasi Pemasaran Amerika (the American
Marketing Association) mendefinisikan merek atau brand sebagai nama,
istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasinya, yang ditujukan agar dapat
mengenali barang atau jasa dari satu atau sekelompok penjual dan membedakannya
dari produk dan jasa para pesaing. Berdasarkan peraturan perundang-undangan
merek dagang, penjual tersebut diberikan hak eksklusif untuk menggunakan nama
mereknya selamanya. Merek berbeda dengan aset lainnya seperti hak paten atau
hak cipta yang memiliki tanggal kadaluarsa. (Kotler, 2002)
Sebuah merek yang diposisikan dengan
baik mengasosiasikan namanya dengan keuntungan yang diinginkan. Sejumlah contoh
penentuan posisi merek (brand positioning)
yang sukses adalah Toyota (dapat dipercaya, berorientasi keluarga), Raffles
Hotel (dewasa, aristokratis), Sony (kreatif), Tiger Balm (kuat sekaligus
lembut) dan Lexus (kualitas). Penentuan posisi iniakan berjalan dengan sukses
jika dirasakan dengan penuh antusias oleh setiap orang dalam organisasi
tersebut, dan pasar sasaran (target
market) percaya bahwa perusahaan adalah yang terbaik dalam memberikan
keuntungan tersebut (Kotler, 2004).
Praktik branding telah berlangsung selama beberapa abad, namun teori branding praktis baru berkembang dalam
beberapa dekade terakhir. Pakar periklanan terkemuka David Ogilvy mencuatkan
isu pentingnya citra merek di tahun 1951. Klarifikasi perbedaan antara merek
dan produk diungkapkan secara gamblang pertama kali dalam sebuah artikel klasik
berjudul ’the product and the brand’
yang dipublikasikan di Harvard Business
Review di tahun 1955 oleh Burleigh Garder & Sidney Levy. Wacana tentang
konseptualisasi dan pengukuran brand
equity baru berkembang di akhir dekade 1980 an. Pada dekade 1990 an isu global branding muncul ke permukaan dan
mendominasi literatur pemasaran internasional dan bisnis internasional
(Tjiptono, 2005).
MEMBANGUN IDENTITAS MEREK
Upaya membangun identitas merek memerlukan sejumlah keputusan tambahan
terkait dengan nama, logo, warna, tagline (slogan)
dan simbol. Sebuah merek lebih dari itum merek hanyalah alat dan taktik
pemasaran. Sebuah merek pada intinya adalah janji pemasar untuk menyampaikan
sejumlah fitur, keuntungan dan pelayanan yang konsisten kepada pembeli. Pemasar
harus menentukan sebuah misi untuk merek tersebut dan visi mengenai ingin
menjadi apa dan apa yang bisa dilakukan oleh merek tersebut. Pemasar harus
berpikir bahwa saat ini ditawarkan sebuah kontrak kepada konsumen mengenai
bagaimana merek tersebut akan berkinerja. Kontrak merek tersebut haruslah
jujur. Paling maksimal, kampanye merek hanya akan menciptakan pengakuan nama,
pengetahuan tentang merek, bahkan kecenderungan terhadap merek, namun kampanye
iklan tidak akan menciptakan keterikatan merek (brand bonding), seberapa pun perusahaan mengeluarkan dana untuk
iklan dan publikasi. Brand bonding
atau keterikatan merek hanya akan terjadi jika konsumen mengalami manfaat
langsung yang dijanjikan oleh perusahaan. Faktanya adalah merek tidak dibangun
oleh iklan tetapi oleh pengalaman terhadap merek tersebut. Banyak perusahaan
membuat janji-janji merek tetapi gagal melatih karyawannya untuk memahami dan
memberikan apa yang dijanjikan oleh merek tersebut. Perusahaan dapat melakukan
penanaman merek secara internal (internal
branding) di kalangan karyawannya agar mereka dapat memahami, menginginkan,
dan memberikan janji yang diusung oleh merek tersebut (Kotler, 2004).
KESIMPULAN
Coca Cola merupakan perusahaan yang mencengangkan dengan memiliki nilai
merek tiga kali lipat fisik (aset) dari Coca Cola Company yang dalam pembukuan
dinyatakan sebesar US$ 24,5 milyar. Bagaimana merek Coca Cola mencapai nilai
yang demikian tinggi ? Hal ini bukan karena merek itu diluncurkan untuk
melayani pasar yang sudah ada. Pasar minuman ringan di masa itu terdiri dari
root beer, sarsaparila, ginger ale, sari jeruk, lemonade dan ramuan lain. Coca
Cola menjadi merek besar karena merek ini menciptakan pasar baru yang disebut
cola (Al & Laura Ries, 2005). Mengapa Coca Cola yang tercatat setidaknya
sudah dua kali berpindah tangan dibeli tetap memiliki daya tarik bagi
investor ? Tentu saja karena investor
memiliki keyakinan akan masa depan bisnis cola, peluang pertumbuhannya yang
masih tinggi dan gambaran bahwa Coca Cola adalah sebuah bisnis yang berhasil
dengan memiliki merek soft drink kuat
yang dimilikinya. Dalam hal ini konsumen sering memilih merek Coca Cola karena dianggap
menciptakan pilihan diantara produk-produk Coca yang ada, namun Coca Cola
adalah yang pertama. Kemudian untuk menyederhanakan keputusan bagi mereka yang
sudah loyal untuk tetap memilih Coca Cola. Soda yang berdasarkan hasil riset
memiliki rasa paling buruk, justru merupakan cola paling laku. Pemasaran
minuman adalah pertarungan persepsi, bukan rasa (Jack Trout, 2002).
Starbucks yang awal pendiriannya terinspirasi oleh bar ekspresso di Italia
pertama kali dibuka pada 1971 di Seattle oleh Jerry Baldwin, Zev Siegel dan
Gordon Boeker dengan nama II Giornale. Namanya diambil dari salah satu karakter
novel Moby-Dick dengan logo seorang siren,
namun setelah pada tahun 1982 dibeli oleh Howard Schultz, maka nama II Giornale
tahun 1987 diganti menjadi Starbucks. Pada Januari 2005 telah tercatat memiliki
8.949 outlet di seluruh dunia dengan rincian 6.376 di Amerika Serikat dan 2.573
di negara lain. Di Indonesia sendiri hingga Mei 2005 tercatat kafe-kafe
Starbucks sudah ada di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Bali
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Starbucks).
HM Sampoerna dijual saat perusahaan berada pada puncak kejayaannya yaitu
dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 5 milyar. Padahal sebelumnya nilai
kapitalisasi pasar HM Sampoerna pernah mencapai titik terendah sampai di bawah
US$ 300 juta. Sebagai sebuah perusahaan yang didirikan pada tahun 1913 di
Surabaya, HM Sampoerna telah menunjukkan prestasi besar dengan berhasil menjadi
perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia setelah Djarum & Gudang
Garam. Philip Morris sendiri yang mengakuisisi HM Sampoerna sebenarnya
merupakan perusahaan rokok terbesar di Amerika Serikat namun masih menduduki
peringkat dua sebagai perusahaan rokok terbesar di dunia dibandingkan China
National Tobacco Corp berdasarkan data dari Euromonitor. (Kartajaya et al, 2004).
Dari contoh kasus ketiga perusahaan tersebut sebenarnya terlihat, bahwa
pada dasarnya investor yang membeli perusahaan memiliki kecenderungan untuk
mempertahankan merek mula-mula, yaitu merek yang sejak awal dibeli bersama
dengan perusahaan sudah ada yang cukup kuat di benak konsumen. Membuat sebuah
merek baru jauh lebih beresiko dan mahal dibandingkan perusahaan meneruskan /
membangun merek yang ada. Merek memiliki peranan penting dan tidak sekedar
adalah nama, simbol, slogan, dsb. Merek bahkan sudah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari bagi para konsumennya. Adakalanya juga bahwa investor
justru membeli / mengakuisisi perusahaan untuk menambahkan portofolio merek
perusahaan (misalnya Philip Morris mengakuisisi HM Sampoerna) dan membangun
merek tersebut di bawah manajemen perusahaan, contoh lain adalah Unilever saat
mengakuisisi merek snack Taro, Danone & Nestle saat mengakuisisi AMDK (Air
Mineral Dalam Kemasan) Aqua serta Coca Cola saat mengakuisisi Ades.
Mengelola
merek sebenarnya merupakan satu hal yang cukup kompleks. Ada kalanya perusahaan
yang sudah memiliki merek yang kuat bukan berarti merek tersebut selain
memiliki ekuitas tinggi berarti sudah dalam posisi yang aman bagi perusahaan,
namun juga di sisi lain perusahaan-perusahaan yang memiliki merek terkenal juga
pernah melakukan kesalahan yang cukup fatal, antara lain kasus ’New Coke’ Coca
Cola. Dulu, sejumlah eksekutif minuman ringan yakin bahwa pemasaran adalah
pertarungan rasa. Coca Cola Company memproduksi cola yang mempunyai rasa lebih
manis dan melakukan 200.000 uji rasa untuk membuktikan bahwa ‘Coke Baru’ (New
Coke) memiliki rasa lebih baru dari Pepsi Cola dan formula orisinil mereka,
yang kini disebut ‘Coca-Cola Classic’. Soda yang disebut oleh riset memiliki
rasa paling buruk, Coca-Cola Classic, kini merupakan cola paling laku, konsumen
tidak tertarik pada ‘Coke Baru’. (Trout, 2002)
Konsumen bersedia membayar lebih
untuk merek yang ternama. Para pencinta Coca Cola bersedia membayar kenaikan 50
% dari harga produk daripada membeli produk pesaing dengan harga yang hampir
sama; Lexus dan Toyota Camry menggunakan
mesin yang sama namun merek Lexus lebih mahal US$ 10.000 daripada merek Camry.
Jelas bahwa ekuitas adalah aset. Brand Equity adalah dampak pembeda positif
setelah mengetahui nama merek terhadap respon, konsumen terhadap produk atau
jasa dengan merek tersebut. Ekuitas merek harus dibedakan dari valuasi merek (brand valuation), yaitu perkiraan total
nilai finansial dari merek tersebut (Kotler,
2004).