Wednesday, 3 December 2014

merek dan membangun identitas merek

MEREK
Barangkali keterampilan pemasar profesional yang paling menonjol adalah kemampuan untuk menciptakan, menjaga, melindungi dan menaikkan citra merek. Asosiasi Pemasaran Amerika (the American Marketing Association) mendefinisikan merek atau brand sebagai nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau kombinasinya, yang ditujukan agar dapat mengenali barang atau jasa dari satu atau sekelompok penjual dan membedakannya dari produk dan jasa para pesaing. Berdasarkan peraturan perundang-undangan merek dagang, penjual tersebut diberikan hak eksklusif untuk menggunakan nama mereknya selamanya. Merek berbeda dengan aset lainnya seperti hak paten atau hak cipta yang memiliki tanggal kadaluarsa. (Kotler, 2002)
            Sebuah merek yang diposisikan dengan baik mengasosiasikan namanya dengan keuntungan yang diinginkan. Sejumlah contoh penentuan posisi merek (brand positioning) yang sukses adalah Toyota (dapat dipercaya, berorientasi keluarga), Raffles Hotel (dewasa, aristokratis), Sony (kreatif), Tiger Balm (kuat sekaligus lembut) dan Lexus (kualitas). Penentuan posisi iniakan berjalan dengan sukses jika dirasakan dengan penuh antusias oleh setiap orang dalam organisasi tersebut, dan pasar sasaran (target market) percaya bahwa perusahaan adalah yang terbaik dalam memberikan keuntungan tersebut (Kotler, 2004).
            Praktik branding telah berlangsung selama beberapa abad, namun teori branding praktis baru berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Pakar periklanan terkemuka David Ogilvy mencuatkan isu pentingnya citra merek di tahun 1951. Klarifikasi perbedaan antara merek dan produk diungkapkan secara gamblang pertama kali dalam sebuah artikel klasik berjudul ’the product and the brand’ yang dipublikasikan di Harvard Business Review di tahun 1955 oleh Burleigh Garder & Sidney Levy. Wacana tentang konseptualisasi dan pengukuran brand equity baru berkembang di akhir dekade 1980 an. Pada dekade 1990 an isu global branding muncul ke permukaan dan mendominasi literatur pemasaran internasional dan bisnis internasional (Tjiptono, 2005).
           
MEMBANGUN IDENTITAS MEREK
Upaya membangun identitas merek memerlukan sejumlah keputusan tambahan terkait dengan nama, logo, warna, tagline (slogan) dan simbol. Sebuah merek lebih dari itum merek hanyalah alat dan taktik pemasaran. Sebuah merek pada intinya adalah janji pemasar untuk menyampaikan sejumlah fitur, keuntungan dan pelayanan yang konsisten kepada pembeli. Pemasar harus menentukan sebuah misi untuk merek tersebut dan visi mengenai ingin menjadi apa dan apa yang bisa dilakukan oleh merek tersebut. Pemasar harus berpikir bahwa saat ini ditawarkan sebuah kontrak kepada konsumen mengenai bagaimana merek tersebut akan berkinerja. Kontrak merek tersebut haruslah jujur. Paling maksimal, kampanye merek hanya akan menciptakan pengakuan nama, pengetahuan tentang merek, bahkan kecenderungan terhadap merek, namun kampanye iklan tidak akan menciptakan keterikatan merek (brand bonding), seberapa pun perusahaan mengeluarkan dana untuk iklan dan publikasi. Brand bonding atau keterikatan merek hanya akan terjadi jika konsumen mengalami manfaat langsung yang dijanjikan oleh perusahaan. Faktanya adalah merek tidak dibangun oleh iklan tetapi oleh pengalaman terhadap merek tersebut. Banyak perusahaan membuat janji-janji merek tetapi gagal melatih karyawannya untuk memahami dan memberikan apa yang dijanjikan oleh merek tersebut. Perusahaan dapat melakukan penanaman merek secara internal (internal branding) di kalangan karyawannya agar mereka dapat memahami, menginginkan, dan memberikan janji yang diusung oleh merek tersebut (Kotler, 2004).

KESIMPULAN
Coca Cola merupakan perusahaan yang mencengangkan dengan memiliki nilai merek tiga kali lipat fisik (aset) dari Coca Cola Company yang dalam pembukuan dinyatakan sebesar US$ 24,5 milyar. Bagaimana merek Coca Cola mencapai nilai yang demikian tinggi ? Hal ini bukan karena merek itu diluncurkan untuk melayani pasar yang sudah ada. Pasar minuman ringan di masa itu terdiri dari root beer, sarsaparila, ginger ale, sari jeruk, lemonade dan ramuan lain. Coca Cola menjadi merek besar karena merek ini menciptakan pasar baru yang disebut cola (Al & Laura Ries, 2005). Mengapa Coca Cola yang tercatat setidaknya sudah dua kali berpindah tangan dibeli tetap memiliki daya tarik bagi investor  ? Tentu saja karena investor memiliki keyakinan akan masa depan bisnis cola, peluang pertumbuhannya yang masih tinggi dan gambaran bahwa Coca Cola adalah sebuah bisnis yang berhasil dengan memiliki merek soft drink kuat yang dimilikinya. Dalam hal ini konsumen sering memilih merek Coca Cola karena dianggap menciptakan pilihan diantara produk-produk Coca yang ada, namun Coca Cola adalah yang pertama. Kemudian untuk menyederhanakan keputusan bagi mereka yang sudah loyal untuk tetap memilih Coca Cola. Soda yang berdasarkan hasil riset memiliki rasa paling buruk, justru merupakan cola paling laku. Pemasaran minuman adalah pertarungan persepsi, bukan rasa (Jack Trout, 2002).
Starbucks yang awal pendiriannya terinspirasi oleh bar ekspresso di Italia pertama kali dibuka pada 1971 di Seattle oleh Jerry Baldwin, Zev Siegel dan Gordon Boeker dengan nama II Giornale. Namanya diambil dari salah satu karakter novel Moby-Dick dengan logo seorang siren, namun setelah pada tahun 1982 dibeli oleh Howard Schultz, maka nama II Giornale tahun 1987 diganti menjadi Starbucks. Pada Januari 2005 telah tercatat memiliki 8.949 outlet di seluruh dunia dengan rincian 6.376 di Amerika Serikat dan 2.573 di negara lain. Di Indonesia sendiri hingga Mei 2005 tercatat kafe-kafe Starbucks sudah ada di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Bali (http://id.wikipedia.org/wiki/ Starbucks).
HM Sampoerna dijual saat perusahaan berada pada puncak kejayaannya yaitu dengan nilai kapitalisasi pasar US$ 5 milyar. Padahal sebelumnya nilai kapitalisasi pasar HM Sampoerna pernah mencapai titik terendah sampai di bawah US$ 300 juta. Sebagai sebuah perusahaan yang didirikan pada tahun 1913 di Surabaya, HM Sampoerna telah menunjukkan prestasi besar dengan berhasil menjadi perusahaan rokok terbesar ketiga di Indonesia setelah Djarum & Gudang Garam. Philip Morris sendiri yang mengakuisisi HM Sampoerna sebenarnya merupakan perusahaan rokok terbesar di Amerika Serikat namun masih menduduki peringkat dua sebagai perusahaan rokok terbesar di dunia dibandingkan China National Tobacco Corp berdasarkan data dari Euromonitor. (Kartajaya et al, 2004).
Dari contoh kasus ketiga perusahaan tersebut sebenarnya terlihat, bahwa pada dasarnya investor yang membeli perusahaan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan merek mula-mula, yaitu merek yang sejak awal dibeli bersama dengan perusahaan sudah ada yang cukup kuat di benak konsumen. Membuat sebuah merek baru jauh lebih beresiko dan mahal dibandingkan perusahaan meneruskan / membangun merek yang ada. Merek memiliki peranan penting dan tidak sekedar adalah nama, simbol, slogan, dsb. Merek bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi para konsumennya. Adakalanya juga bahwa investor justru membeli / mengakuisisi perusahaan untuk menambahkan portofolio merek perusahaan (misalnya Philip Morris mengakuisisi HM Sampoerna) dan membangun merek tersebut di bawah manajemen perusahaan, contoh lain adalah Unilever saat mengakuisisi merek snack Taro, Danone & Nestle saat mengakuisisi AMDK (Air Mineral Dalam Kemasan) Aqua serta Coca Cola saat mengakuisisi Ades.
            Mengelola merek sebenarnya merupakan satu hal yang cukup kompleks. Ada kalanya perusahaan yang sudah memiliki merek yang kuat bukan berarti merek tersebut selain memiliki ekuitas tinggi berarti sudah dalam posisi yang aman bagi perusahaan, namun juga di sisi lain perusahaan-perusahaan yang memiliki merek terkenal juga pernah melakukan kesalahan yang cukup fatal, antara lain kasus ’New Coke’ Coca Cola. Dulu, sejumlah eksekutif minuman ringan yakin bahwa pemasaran adalah pertarungan rasa. Coca Cola Company memproduksi cola yang mempunyai rasa lebih manis dan melakukan 200.000 uji rasa untuk membuktikan bahwa ‘Coke Baru’ (New Coke) memiliki rasa lebih baru dari Pepsi Cola dan formula orisinil mereka, yang kini disebut ‘Coca-Cola Classic’. Soda yang disebut oleh riset memiliki rasa paling buruk, Coca-Cola Classic, kini merupakan cola paling laku, konsumen tidak tertarik pada ‘Coke Baru’. (Trout, 2002)

 Konsumen bersedia membayar lebih untuk merek yang ternama. Para pencinta Coca Cola bersedia membayar kenaikan 50 % dari harga produk daripada membeli produk pesaing dengan harga yang hampir sama;  Lexus dan Toyota Camry menggunakan mesin yang sama namun merek Lexus lebih mahal US$ 10.000 daripada merek Camry. Jelas bahwa ekuitas adalah aset. Brand Equity adalah dampak pembeda positif setelah mengetahui nama merek terhadap respon, konsumen terhadap produk atau jasa dengan merek tersebut. Ekuitas merek harus dibedakan dari valuasi merek (brand valuation), yaitu perkiraan total nilai finansial dari merek tersebut (Kotler, 2004).